Rabu, 21 Januari 2009

Eks Tapol G 30 S

By : Midwan

Sisi gelap sejarah nasional indonesia tahun 1965 dibawah rezim pemerintahan mantan presiden soeharto menyisakan berbagai dimensi persoalan yang kini masih membekas. Banyak orang terbunuh dan dipenjarakan hanya karena dicap komunis salah satunya para eks tahanan politik gerakan 30 september. Di Kota Kendari Sulawesi Tenggara para eks tahanan politik bahkan harus hidup terasing dan termarginal dari komunitas sosial lainnya.

Suasana sepi terasa saat kita mulai memasuki perkampungan yang dihuni sekitar 42 kepala keluarga eks tahan politik gerakan 30 september dipinggiran hutan nanga-nanga kecamatan baruga kota kendari sulawesi tenggara. Awalnya eks tapol yang menghuni kawasan pinggiran hutan sejak tahun 1965 itu berjumlah sekaitar 92 kk namun sebagian diantaranya sudah berpindah tempat dan mengasingkan diri kewilayah lainnya dan yang bertahan hingga kini hanya tersisa 42 kk saja.

Sonda Laede adalah salah satunya. Lelaki yang telah memasuki usia 80 tahun ini memilih tetap bertahan meski harus hidup terasing dan termarginal dari komunitas sosial lainnya. Meski statusnya kini telah berubah sebagai eks tahanan politik namun setiap saat ia tetap membayangkan kekejaman rezim mantan presiden soeharto semasa ia menjadi tahanan politik.

Sejak menghuni kawasan pinggiran hutan nanga-nanga ini banyak rekan-rekan Sonda Laede telah berpindah tempat bahkan telah melupakan peristiwa kelam itu namun tidak bagi sonda laede. Lelaki yang dulunya pernah menjadi pegawai dinas kehutanan ini terus mencoba bertarung untuk menemukan kebenaran dan keadilan atas peristiwa sewenang-wenang yang dialaminya selama menjadi tahanan politik g 30 s.
Setelah dituduh telibat g 30 s ia lalu dipenjarakan disiksa tanpa proses hukum yang jelas bahkan yang paling kejam menurut dia setelah bebas dari tahanan politik ia bersama rekan-rekannya lagi-lagi harus mendapat tindakan peminggiran diskriminasi stigma dan stereotip. Tak hanya itu hak milik tanah dan berbagai hak mereka sebagai warga negara seolah hilang hanya karena status mereka sebagai eks tapol g 30 s.

Walau dalam kuantitas, jumlah mereka tidak sebanyak dipulau jawa tapi persoalan kemanusiaan bukan hanya persoalan kuantitas semata tapi juga dilihat dari kualitas akibat yang ditimbulkan oleh tindakan crimes against humanity. Meski kekejaman rezim soeharto selama berkuasa sulit terlupakan namun bukan berati perisitiwa itu menutup dinding batas nurani Sonda Laede untuk memaafkan mantan presiden soeharto.

Kini masa itu telah berlalu. Masa muda Sonda Laede memang tidak berjalan indah seperti pemuda lainnya dimasa itu yang tidak masuk dalam tahanan politik kini ia hanya bisa pasrah dan menghabiskan sisa umurnya dipinggiran hutan nanga-nanga sambil menanam berbagai komoditi pertanian. Baik sonda laede maupun eks tapol lainnya berharap hak-hak mereka sebagai warga negara bisa dipulihkan kembali oleh pemerintah sehingga mereka bisa mendapat hidup layak seperti warga negara indonesia lainnya. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar